Tuesday, 24 September 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Di era reformasi sekarang ini, Indonesia
mengalami banyak perubahan. Perubahan sistem politik, reformasi ekonomi, sampai
reformasi birokrasi menjadi agenda utama di negeri ini. Yang paling sering
dikumandangkan adalah masalah reformasi birokrasi yang menyangkut
masalah-masalah pegawai pemerintah yang dinilai korup dan sarat dengan
nepotisme. Reformasi birokrasi dilaksanakan dengan harapan dapat menghilangkan
budaya-budaya buruk birokrasi seperti praktik korupsi yang paling sering
terjadi di dalam instansi pemerintah. Reformasi birokrasi ini pada umumnya
diterjemahkan oleh instansi-instansi pemerintah sebagai perbaikan kembali
sistem remunerasi pegawai. Anggapan umum yang sering muncul adalah dengan
perbaikan sistem penggajian atau remunerasi, maka aparatur pemerintah tidak
akan lagi melakukan korupsi karena dianggap penghasilannya sudah mencukupi
untuk kehidupan sehari-hari dan untuk masa depannya. Namun pada kenyataannya,
tindakan korupsi masih terus terjadi walaupun secara logika gaji para pegawai
pemerintah dapat dinilai tinggi.
Korupsi dari yang bernilai jutaan hingga
miliaran rupiah yang dilakukan para pejabat pemerintah terus terjadi sehingga
dapat disinyalir negara mengalami kerugian hingga triliunan rupiah. Tentunya
ini bukan angka yang sedikit, melihat kebutuhan kenegaraan yang semakin lama
semakin meningkat. Jika uang yang dikorupsi tersebut benar-benar dipakai untuk
kepentingan masyarakat demi mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kualitas
pendidikan, mungkin cita-cita tersebut bisa saja terwujud. Dana-dana sosial
akan sampai ke tangan yang berhak dan tentunya kesejahteraan masyarakat akan
meningkat.
Seperti yang telah dijelaskan di atas,
pengkajian ulang remunerasi pegawai yang meningkatkan jumlah gaji mereka
terbukti tidak menurunkan tingkat korupsi seperti yang diharapkan. Salah satu
hal yang menyebabkan hal tersebut adalah rendahnya moral dan kesadaran
masyarakat mengenai korupsi itu sendiri. Masyarakat menganggap korupsi sebagai
suatu hal yang biasa sebab tanpa disadari, kita sudah terbiasa melakukan
korupsi. Misalnya saja dalam penyediaan alat tulis kantor, pegawai terbiasa
mengambil uang yang tersisa dari dana yang disediakan. Padahal sesungguhnya
dana tersebut harus dikembalikan pada organisasi. Akibat adanya kebiasaan
korupsi ini, pemberantasan korupsi di Indonesia sangat sulit dilakukan.
Pemberantasan korupsi seharusnya dilakukan dengan cara mengubah kebiasaan
masyarakat sejak dini dan menanamkan paradigma bahwa korupsi ini adalah suatu
hal yang salah.
Cara ini mulai dilakukan oleh pemerintah
melalui sekolah-sekolah dengan menerapkan sistem kantin kejujuran. Kantin
kejujuran adalah sebuah sistem kantin dimana murid-murid mengambil sendiri
barang apa yang ia inginkan. Sekilas sistem ini terlihat seperti suatu sistem
yang biasa dilakukan di supermarket dimana konsumen melayani dirinya sendiri.
Namun di kantin kejujuran, murid bukan hanya harus melayani dirinya sendiri
tapi juga harus membayar serta mengambil kembalian sendiri tanpa adanya orang
yang mengawasai, sehingga hal ini merupakan solusi untuk mempersiapkan
masyarakat yang menjunjung tinggi kejujuran. Dengan kata lain, sistem kantin
ini berbeda dari kantin-kantin yang ada umumnya karena di sini tidak terdapat
penjual. Sistem kantin kejujuran ini dapat merangsang kejujuran murid karena ia
akan belajar menjadi orang yang berusaha menjaga amanat yang diberikan oleh
orang lain kepada dirinya. Di samping itu, kantin kejujuran juga memberikan
kontribusi dalam mencerdaskan murid khususnya untuk perhitungan matematis.
Kantin kejujuran merupakan upaya preventif dalam menangkal terjadinya tindak
korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin,
Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau
menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang
menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku
menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr.
Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang
dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum.
Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri
Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan
politik pemaknaan.
Maka dapat disimpulkan korupsi merupakan
perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai
macam modus.
Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas
secara implisit menyebutkan tiga bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery),
pemerasan (extortion), dan nepotisme. Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai
pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk menduduki
jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan dampaknya
bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6).
Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori
Alatas ini adalah subordinasi kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi
yang mencakup pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan
umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap
masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.
Istilah korupsi dapat pula mengacu pada
pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya
menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula
korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan
kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik
maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau
kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan
melakukan tindak korupsi.
Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari
pusat budaya, pusat budaya dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great
culture) dan budaya wong cilik (little culture). Dikotomi budaya selalu ada,
dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan subyektifitas pada budaya besar yang
berpusat di kraton. Kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat
budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada budaya
kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun
tetap ada bocoran budaya.
B. Sebab-Sebab Korupsi
Penyebab adanya tindakan korupsi sebenarnya
bervariasi dan beraneka ragam. Akan tetapi, secara umum dapatlah dirumuskan,
sesuai dengan pengertian korupsi diatas yaitu bertujuan untuk mendapatkan
keuntungan pribadi /kelompok /keluarga/ golongannya sendiri. Faktor-faktor
secara umum yang menyebabkan seseorang melakukan tindakan korupsi antara lain
yaitu :
- Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan
dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi
tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
- Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan
etika.
- Kolonialisme, suatu pemerintahan asing
tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk
membendung korupsi.
- Kurangnya pendidikan.
- Adanya banyak kemiskinan.
- Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
- Kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku anti korupsi.
- Struktur pemerintahan.
- Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang
mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
- Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Dalam teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne
atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya korupsi meliputi :
- Greeds(keserakahan) : berkaitan dengan
adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap
orang.
- Opportunities(kesempatan) : berkaitan
dengankeadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian
rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan
kecurangan.
- Needs(kebutuhan) : berkaitan dengan
faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang
hidupnya yang wajar.
- Exposures(pengungkapan) : berkaitan dengan
tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila
pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
Bahwa faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan
dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau kelompok baik dalam
organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi yang merugikan
pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan Exposures berkaitan
dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi, instansi, masyarakat
yang kepentingannya dirugikan.
Menurut Dr.Sarlito W. Sarwono, faktor penyebab
seseorang melakukan tindakan korupsi yaitu faktor dorongan dari dalam diri
sendiri (keinginan, hasrat, kehendak, dan sebagainya) dan faktor rangsangan
dari luar (misalnya dorongan dari teman-teman, kesempatan, kurang kontrol dan
sebagainya).
Menurut Komisi IV DPR-RI, terdapat tiga
indikasi yang menyebabkan meluasnya korupsi di Indonesia, yaitu :
1. Pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi.
2. Penyalahgunaan kesempatan untuk memperkaya
diri.
3. Penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya
diri.
4. Dalam buku Sosiologi Korupsi oleh Syed
Hussein Alatas, disebutkan ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut :
- Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari
satu orang.
- Korupsi pada umumnya melibatkan
keserbarahasiaan.
- Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan
keuntungann timbale balik.
- Berusaha menyelubungi perbuatannya dengan
berlindung dibalik perlindungan hukum.
- Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka
yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mereka yang mampu
untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
- Setiap tindakan korupsi mengandung
penipuan, biasanya pada badan publik atau masyarakat umum.
- Setiap bentuk korupsi adalah suatu
pengkhianatan kepercayaan.
- Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi
ganda yang kontradiktif.
- Perbuatan korupsi melanggar norma-norma
tugas dan pertanggungjawaban dalam masyarakat.
C. Macam-Macam Korupsi
Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh
UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan
pasal-pasal tersebut, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan
sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7 kelompok yakni :
1. Korupsi yang terkait dengan merugikan
keuangan Negara
2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan
dalam jabatan
4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan
5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
6. Korupsi yang terkait dengan benturan
kepentingan dalam pengadaan
7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi
Menurut Aditjandra dari definisi tersebut
digabungkan dan dapat diturunkan menjadi dihasilkan tiga macam model korupsi
(2002: 22-23) yaitu :
• Model korupsi lapis pertama
Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni
dimana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari
birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda
ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa
datang dari birokrat atau petugas pelayan publik lainnya.
• Model korupsi lapis kedua
Jaring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat,
politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan
istimewa. Menurut Aditjandra, pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat
ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan
lingkupnya bisa mencapai level nasional.
• Model korupsi lapis ketiga
Korupsi dalam model ini berlangsung dalam
lingkup internasional dimana kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi
lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas
di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh
pimpinan rezim yang menjadi anggota jaring-jaring korupsi internasional korupsi
tersebut.
D. Cara Pencegahan Dan Strategi Pemberantasan
Korupsi
Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi
tidaklah begitu sulit kalau kita secara sadar untuk menempatkan kepentingan
umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ini
perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya peraturan, kalau ada niat untuk
melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin korup, korupsi tetap
akan terjadi karena faktor mental itulah yang sangat menentukan. Dalam
melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga)
pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
1.
Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan
korupsi terjadi,
2.
Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi
terjadi,
3.
Pendekatan pada posisi setelah perbuatan
korupsi terjadi.
Dari tiga pendekatan ini dapat diklasifikasikan
tiga strategi untuk mencegah dan memberantas korupsi yang tepat yaitu :
• Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan
dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap
penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat
meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat
meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak
pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya
korupsi.
• Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan
terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur
terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti
dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi,
sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup
tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat
membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun
ilmu politik dan sosial.
• Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan
terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara
cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar
pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat
disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat
dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinya harus dilakukan secara
terintregasi.
Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat
dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan. Bahkan dari
masyarakat dan para pemerhati / pengamat masalah korupsi banyak memberikan
sumbangan pemikiran dan opini strategi pemberantasan korupsi secara preventif
maupun secara represif antara lain :
1. Konsep “carrot and stick” yaitu konsep
pemberantasan korupsi yang sederhana yang keberhasilannya sudah dibuktikan di
Negara RRC dan Singapura. Carrot adalah pendapatan netto pegawai negeri, TNI
dan Polri yang cukup untuk hidup dengan standar sesuai pendidikan, pengetahuan,
kepemimpinan, pangkat dan martabatnya, sehingga dapat hidup layak bahkan cukup untuk
hidup dengan “gaya” dan “gagah”. Sedangkan Stick adalah bila semua sudah
dicukupi dan masih ada yang berani korupsi, maka hukumannya tidak
tanggung-tanggung, karena tidak ada alasan sedikitpun untuk melakukan korupsi,
bilamana perlu dijatuhi hukuman mati.
2. Gerakan “Masyarakat Anti Korupsi” yaitu
pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini perlu adanya tekanan kuat dari
masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan rakyat anti korupsi, LSM, ICW,
Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang lain perlu bekerjasama dalam upaya
memberantas korupsi, serta kemungkinan dibentuknya koalisi dari partai politik
untuk melawan korupsi. Selama ini pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai
bahan kampanye untuk mencari dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai
politik yang bersangkutan. Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan
pemerintah dan sekaligus memberikan dukungan moral agar pemerintah bangkit
memberantas korupsi.
3. Gerakan “Pembersihan” yaitu menciptakan
semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) yang bersih, jujur,
disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki komitmen yang tinggi dan berani
melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang status sosial untuk menegakkan
hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan dengan membenahi sistem organisasi
yang ada dengan menekankan prosedur structure follows strategy yaitu dengan
menggambar struktur organisasi yang sudah ada terlebih dahulu kemudian
menempatkan orang-orang sesuai posisinya masing-masing dalam struktur
organisasi tersebut.
4. Gerakan “Moral” yang secara terus menerus
mensosialisasikan bahwa korupsi adalah kejahatan besar bagi kemanusiaan yang
melanggar harkat dan martabat manusia. Melalui gerakan moral diharapkan
tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat yang sangat menolak, menentang,
dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima, mendukung, dan menghargai
perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat dilakukan melalui lembaga
pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama
generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun peradaban bangsa yang
bersih dari moral korup.
5. Gerakan “Pengefektifan Birokrasi” yaitu
dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam pemerintahan agar didapat hasil kerja
yang optimal dengan jalan menempatkan orang yang sesuai dengan kemampuan dan
keahliannya. Dan apabila masih ada pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan
tindakan tegas dan keras kepada mereka yang telah terbukti bersalah dan
bilamana perlu dihukum mati karena korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan
dan siapa saja yang melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat
kehidupan.
E. Teori Partisipasi
Partisipasi adalah keikutsertaan, peranserta
tau keterlibatan yang berkaitan dengan keadaaan lahiriahnya
(Sastropoetro;1995). Pengertian prinsip partisipasi adalah masyarakat berperan
secara aktif dalam proses atau alur tahapan program dan pengawasannya, mulai
dari tahap sosialisasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pelestarian kegiatan
dengan memberikan sumbangan tenaga, pikiran, atau dalam bentuk materill (PTO
PNPM PPK, 2007).
Theodorson dalam Mardikanto (1994) mengemukakan
bahwa dalam pengertian sehari-hari, partisipasi merupakan keikutsertaan atau
keterlibatan seseorang (individu atau warga masyarakat) dalam suatu kegiatan
tertentu. Keikutsertaan atau keterlibatan yang dimaksud di sini bukanlah
bersifat pasif tetapi secara aktif ditujukan oleh yang bersangkutan. Oleh
karena itu, partisipasi akan lebih tepat diartikan sebagi keikutsertaan
seseorang didalam suatu kelompok sosial untuk mengambil bagian dalam kegiatan
masyarakatnya, di luar pekerjaan atau profesinya sendiri. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terhadap tumbuh dan berkembangnya partisipasi dapat didekati
dengan beragam pendekatan disiplin keilmuan. Menurut konsep proses pendidikan,
partisipasi merupakan bentuk tanggapan atau responses atas
rangsangan-rangsangan yang diberikan; yang dalam hal ini, tanggapan merupakan
fungsi dari manfaat (rewards) yang dapat diharapkan (Berlo, 1961).
1. Syarat tumbuh partisipasi
Margono Slamet
(1985) menyatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat, sangat
ditentukan oleh 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:
1). Adanya
kemauan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi
2). Adanya
kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi
3). Adanya
kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi
2. Bentuk-bentuk partisipasi
Hamijoyo
membedakan bentuk partisipasi ke dalam 6 bentuk yaitu (Hamijoyo, 1979:6)
a. Partisipasi
buah pikiran
Partisipasi ini diwujudkan dengan memberikan
pengalaman dan pengetahuan guna mengembangkan kegiatan yang diikutinya.
Sumbangan pemikiran diarahkan kepada penataan cra pelayanan dari lembaga atau badan
yang ada, sehingga dapat berfungsi sosial secara aktif dalam pemenuhuan
kebutuhan anggota masyrakat
b. Partisipasi
tenaga
Partisipasi jenis ini diberikan dalam bentuk
tenaga untuk pelaksanaan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan dari
suatu kegiatan
c. Partisipasi
keterampilan
Jenis keterampilan ini adalah memberikan
dorongan melalui keterampilan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lain
yang membutuhkannya. Kegiatan ini biasanya diadakan dalam bentuklatihan bagi
anggota masyrakat. Partisipaso ini pada umumnya bersifat nmembina masyarakat
agar dapat memiliki kemampuan mememnuhi kebutuhannya.
d. Partisipasi
uang
Partisiapasi ini adlaah untuk memperlancar
usaha-usaha bagi pencapaian kebutuhan masyarakat yang memerlukan bantuan
e. Partisipasi
harta benda
Diberikan dalam bentuk menyumbangkan harta
benda, biasanya berupa perkakas, laat-alat-alat kerja bagi yang dijangkau oleh
badan pelayanan tersebut.
f. Partisipasi
sosial
Partisipasi jenis ini diberikan oleh partisipan
sebagai tanda paguuyuban, misalnya arisan, menghadiri kematian,berkecimpung
dalam sutu kegiatan dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Korupsi berasal dari bahasa latin,
Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau
menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang
menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku
menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Menurut Dr.
Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang
dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum.
Selanjutnya, dengan merujuk definisi Huntington diatas, Heddy Shri
Ahimsha-Putra (2002) menyatakan bahwa persoalan korupsi adalah persoalan politik
pemaknaan.
Faktor-faktor secara umum yang menyebabkan
seseorang melakukan tindakan korupsi antara lain yaitu :
- Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan
dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi
tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
- Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan
etika.
- Kolonialisme, suatu pemerintahan asing
tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk
membendung korupsi.
- Kurangnya pendidikan.
- Adanya banyak kemiskinan.
- Tidak adanya tindakan hukum yang tegas.
- Kelangkaan lingkungan yang subur untuk
perilaku anti korupsi.
- Struktur pemerintahan.
- Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang
mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
- Keadaan masyarakat yang semakin majemuk.
Ada 7 kelompok katagori korupsi, yaitu :
1. Korupsi yang terkait dengan merugikan
keuangan Negara
2. Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap
3. Korupsi yang terkait dengan penggelapan
dalam jabatan
4. Korupsi yang terkait dengan pemerasan
5. Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
6. Korupsi yang terkait dengan benturan
kepentingan dalam pengadaan
7. Korupsi yang terkait dengan gratifikasi
Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi
tidaklah begitu sulit kalau kita secara sadar untuk menempatkan kepentingan
umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan
Dalam melakukan
analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan
berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
1.
Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi
terjadi,
2.
Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi
terjadi,
3.
Pendekatan pada posisi setelah perbuatan
korupsi terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Theodorson dalam Mardikanto (1994) http://makalahmajannaii.blogspot.com/2012/09/makalah-korupsi-dan-pencegahannya.html
0 Comments:
Subscribe to:
Post Comments (Atom)